Fashakhakh dan Balaghah
Ilmu Balaghah
Fashakhakh dan Balaghah
A.Fashahah
A. 1. Arti fashahah
a. Menurut bahasa
fashahah berarti menampakkan perkara secara jelas dan terang. Suatu contoh,
seorang anak kecil akan dikatakan fashih saat ia sudah dapat berbicara dengan
jelas dan terang.
b. Menurut ishthilah ilmu balaghah
Fashahah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalimat, kalam dan
mutakalim.
A. 2. Macam – macam fashahah
1. Fashahatul kalimat ( kalimat yang fashiih )
Suatu kalimat ( Kosakata ; bhs. Indo ) dikategorikan
sebagai kalimat yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : 1 )
Tanafurul huruf. 2 ) Mukhalafatul qiyas. 3 ) Ghorobah.
1.1. Tanafurul huruf adalah sifat
yang terdapat di dalam suatu kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit
dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan
naluri perasaan yang normal.
Contoh :
الظَّشُّ
|
: sebutan bagi tempat yang kasar.
|
اَلْهُعْخُع
|
: sebutan bagi tanaman yang dimakan onta.
|
النُّقَاخ
|
: sebutan bagi air tawar yang bersih.
|
المُسْتَشْزِر
|
: sebutan bagi rambut yang digulung.
|
Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz – lafadz
di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat ) yang kurang
ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena itu, empat
kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain dalam bahasa
jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas lisan
orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih,
dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di
dalam kalimat tersebut.
1.2. Mukhalafatul qiyas adalah
kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian
dapat diketahui dengan merujuk pada kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
فَاِنْ يَكُ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ ☼ فَفِى النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلٌ
“ Bila sebagian orang – orang itu
menjadi pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi
terompet – terompet dan genderang – genderangnya. “
Dalam syair Al Mutanabi di atas terdapat
lafadz بوقات ( jamak muannats salim dari
lafadz بوق ).
Lafadz بوقات tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak
sesuai dengan kaidah ilmu sharaf. Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بوق tidak memenuhi syarat untuk
dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat tersebut hanya dapat
dijamakkan dengan jamak taksir ; ابواق .
Di dalam syair yang lain al Mutanabi berkata :
إنّ بنىَّ للئام
زهده ☼ مالى فى صدورهم من موددة
Kalimat موددة pada
syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I’lal
& Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ;
مودّة .
1.3. Ghorobah
berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang
digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan
memperbanyak menela’ah bahasa arab.
Contoh :
تَكَأْكَأَ
|
Bermakna اِجْتَمَعَ (
berkumpul )
|
اِفْرَنْقَعَ
|
Bermakna اِنْصَرَفَ(
berangkat )
|
اِطْلَخَمَّ
|
Bermakna اِشْتَدَّ (
dahsyat )
|
Ketiga kalimat di atas (تَكَأْكَأَ , اِفْرَنْقَعَ & اِطْلَخَمّ ) termasuk
dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat tersebut
sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo “
bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli
penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan (
Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas
dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya.
2. Fashahatul Kalam
( Kalam yang fashiih )
Suatu kalam ( Kalimat ; bhs. Indo ) dikategorikan
sebagai kalam yang fashiih apabila kalam tersebut selamat dari : 1 )
Tanafurul kalimat. 2 ) Dla’fut Taklif. 3 ) Ta’qid.
2.1. Tanafurul kalimat adalah suatu
sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam tersebut sulit dan
berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat diketahui dengan naluri
perasaan yang normal.
Contoh :
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ يَشْرَع ☼ وليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْر
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَى☼مَعِى وَاِذَا مَالُمْتُه لُمْتُه وَحْدِى
Susunan kata yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak
fashiih karena susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional
sehingga menyebabkan lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti
contoh dalam bahasa Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi
lisan orang Jawa kalimat tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan
susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan kurang proporsional.
2.2. Dla’fut taklif berarti kalam (
susunan kalimat ) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam
yang berlaku dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dlamir ( kata ganti )
sebelum menyebutkan marji’nya ( tempat kembalinya dhamir ).
Contoh :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلان عَن كِبَرٍ ☼ وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجْزى سنِمّار
Letak dlamir هُ pada
lafadz بَنُوْه mendahului
marji’nya ; أَبَا الْغِيْلان ,
hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam
ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat dikategorikan sebagai
kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir harus setelah
penyebutan marji’nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah menemukan marji’
dlamir tersebut.
2.3. Ta’qid berarti kalam tersebut
masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki. Hal
demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud perkataan
mutakalim. Ta’qid ada dua macam :
a ) Ta’qid Lafdzi adalah ta’qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam
susunan lafadz. Seperti taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak
di ahir ), takhir ( mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ),
washal ( menyambung suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz
dengan lafadz setelahnya ) dan sebagainya.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
جَفَخَتْ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الْحَسَبِ
الْاَغَرِّ دَلَائِلُ
“Kemegahan tapi mereka tidaklah sombong
dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat mulia yang menunjukkan. “.
Susunan yang
seharusnya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلَائِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ وَهُمْ لا
يَجْفَخُوْنَ بِهَا
“ Kemegahan telah ada pada mereka yang
menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu
“.
Contoh lain dalam bahasa Indonesia :
“ dan pergi ayah saya ibu pasar, ke
bersama”.
Kalimat di atas sangatlah ruwet dan sulit dipahami maksudnya. Karena
susunan kata pada kalimat tersebut yang acak – acakkan, mendahulukan kata yang
seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan kata yang seharusnya didahulukan dan
peletakan tanda baca koma ( untuk menyambung dan memisah ) yang tidak tepat.
Sedangkan susunan yang benar adalah :
“ Saya, ayah dan ibu pergi ke pasar bersama “.
Dla’fut taklif dan ta’qid lafdzi ini dapat diketahui dengan ilmu nahwu.
b ) Ta’qid Maknawi adalah ta’qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh
penggunaan majaz ( kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak
mudah dipahami maksudnya.
Contoh :
نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِى الْمَدِيْنَة ِ
“ Raja telah menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “
Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja telah menyebar mata – matanya
di kota “, sehingga lafadz أَلْسِنَتَهُ tidak tepat jika digunakan sebagai kiasan
dari katamata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk digunakan
sebagai kiasan dari katamata – mata adalah lafadz عُيُوْنَه . Jadi,
susunan yang benar adalah :
نَشَرَ الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ فِى الْمَدِيْنَة
“ Raja telah menyebarkan mata – matanya di kota. “
Contoh dalam bahasa jawa, saat melihat wanita, sering sekali
para pemuda mengeluarkan kata – kata yang menyindir ( nggojloki , red ) salah
satu bagian kewanitaannya ( payudaranya ) “ gedange’ “
( pisang, bhs. Indo ). Secara logika, kata “ gedange’ “
tersebut sangatlah tidak tepat jika digunakan sebagai konotasi atau kiasan dari
payudara. Sedangkan kata yang tepat adalah “ kate’se’ “
( pepaya, bhs. Indo ), karena bentuknya yang mendekati mirip dengan payudara wanita.
Contoh lain : “ sido opo udu “ ( jadi apa
bukan ) kalimat tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai kalimat yang
fashiih, karena penggunaan kata udu yang bermakna bukansangatlah
tidak tepat apabila digunakan sebagai konotasi dari kata yang bermaknatidak (
nafi ). Yang betul adalah : “ sido opo ora “ (
jadi apa tidak ), karena kata oramengandung makna nafi (
peniadaan ).
Seorang penyair
berkata :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِعَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا ☼وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجمدا
“ ”
Ta’qid maknawi ini dapat diketahui melalui ilmu bayan.
3. Fashahatul
Mutakallim ( Mutakallim fashiih )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya
dengan kalam yang fashih pada setiap tujuan.
Fashahah dapat pula diartikan sebagai implementasi makna melalui
lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi :
1) Kemudahan
pelafalan.
2) Kejelasan makna
(tidak gharib).
3) Ketepatan sharaf.
4) Ketepatan nahwu
B. Balaghah
B. 1. Arti Balaghah
a. Menurut bahasa
Balaghah berarti sampai dan berahir.
بَلَغَ فُلَانٌ مُرَادَهُ “
Fulan telah sampai pada tujuannya “. Dikatakan demikian apabila ia ( fulan )
telah sampai pada tujuannya.
b. Menurut istilah ilmu balaghah
Balaghah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalam dan mutakallim.
B.2. Macam – macam balaghah
1. Balaghatul kalam ( Kalam yang baliigh )
adalah sesuainya kalam yang fashiih dengan muqtadlal khal (
situasi dan kondisi ). Khal dan muqtadlanya ini dapat diketahui dengan ilmu
ma’ani.
- Khal adalah
suatu faktor yang mendorong mutakallim untuk menyampaikan perkataannya dalam
bentuk ( kemasan ) tertentu.
- Muqtadla adalah
suatu bentuk husus yang digunakan untuk menyampaikan perkataan.
Contoh :
- Keinginan memuji adalah khal ( faktor pendorong ) yang
mendorong mutakallim untuk mengemas perkataannya dalam bentuk penyampaian yang
panjang lebar ( ithnab ).
- Kecerdasan mukhathab juga merupakan khal yang mendorong mutakallim untuk
menyampaikan perkataannya dalam bentuk ringkas ( iijaz ).
Maksud memuji dan kecerdasan mukhathab adalah khal, sedangkan
bentuk penyampaian panjang lebar dan ringkas merupakan muqtadha.
Dan penerapan penyampaian kalam dalam bentuk panjang lebar dan ringkas
disebut muthabaqah limuqtadla.
2. Balaghatul mutakallim ( Mutakallim yang baliigh )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya
dengan kalam yang baliigh disetiap tujuan.
Setiap kalam ( kalimat ) yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalam
yang fashiih itu selalu baliigh.
Definisi lain Ilmu Balaghah adalah ilmu untuk menerapkan
(mengimplementasikan) makna dalam lafazh-lafazh yang sesuai (muthabaaqah
al-kalaam bi muqtadhaaal-haal).
Tujuan ilmu balaghah : mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.
Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
Tujuan ilmu balaghah : mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.
Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
a.
Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari
susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara
menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.
b.
Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari
cara-cara penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran imajinatif
itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan menghubungkan dua hal.
Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara membuat metafora yang bisa diindera.
c.
Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari
karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian
tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.
Seorang yang ingin mempelajari dan menekuni ilmu balaghah terlebih dahulu
harus mempunyai pengetahuan tentang ilmu bahasa ( hususnya bahasa arab ), dan mempunyai
bekal pengetahuan ilmu sharaf, nahwu, ma’ani dan ilmu bayan. Disamping itu, ia
juga harusmempunyai naluri perasaan yang normal dan memperbanyak
menela’ah percakapan dalam bahasa arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar