Jumat, 20 Januari 2017

23.49

Soal Obyektif dan Non Obyektif

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta, taufiq dan hidayah-NYA lah kami dapat menyelesaikn makalah ini sebatas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Dan kami berterima kasih kepada bapak Nanang Hasan Susanto selaku dosen mata kuliah Evaluasi Pendidikan yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai tes soal. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam menyusun tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kita harapkan. Untuk itu kami, berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
            Telah di bicarakan sebelum ini bahwa di sekolah sering kali digunakan tes buatan guru(bukan standardized tes).ini disebut tes buatan guru(teacher made tes).tes yang dibuat guru ini terutama menilai kemajuan siswa dalam hal pencapaian hal yang di pelajari.
            Dalam hal ini kita bedakan atas dua bentuk tes yaitu:
1.Tes obyektif
2.Tes non-obyektif
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian soal obyektif  dan non-obyektif?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk dari soal obyektif  dan non-obyektif?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Soal Obyektif
Tes obyektif adalah tes yang dalam pemeriksaannnya dapat dilakukan secara obyektif hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk essay.[1]
Bentuk-bentuk soal obyektif :
1.      Soal Bentuk Pilihan Ganda
Soal bentuk pilihan ganda merupakan soal yang jawabanya harus dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Secara umum, setiap soal pilihan ganda terdiri dari pokok soal (Stem) dan pilihan jwaban (option).
Soal bentuk pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
a.        Lebih mudah dan cepat cara memeriksanya karena dapat menggunkan kunci tes bahkan alat-alat hasil kemajuan teknologi
b.      Pemeriksaanya dapat diserahkan orang lain
c.        Lebih tepat untuk ujian yang pesertanya sangat banyak, atau masal, tetapi hasilnya harus segera diumumkan.
d.      Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif,misalnya:lebih representatif mewakili isi dan luas bahan,lebih obyektif dapat dihindari campur tangannya unsur-unsur subyektif baik dari segi siswa maupun segi guru yang memeriksa.
  Namun demikian, bentuk ini juga memiliki bebrapa kelemahan, antara lain:
a)      memerlukan waktu yang relatif lama untuk menulis soalnya,
b)      soal-soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan daya pengenalan kembali saja dan sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi
c)      banyak kesempatan untuk main untung-untungan
d)     kerjasama,antara siswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih terbuka.[2]
Contoh soal item tes objektif dengan bentuk pertanyaan melengkapi.
1.      ibu kota provinsi jawa tengah adalah....
a.      semarang
b.      bandung
c.       surabaya
d.      ambarawa
contoh soal item tes objektif dengan bentuk pertanyaan langsung.
2.      Kota manakah yang merupakan ibu kota provinsi jawa tengah..
a.      semarang
b.      bandung
c.       surabaya
d.      ambarawa.[3]
2.      Bentuk dengan Dua pilihan jawaban (B - S)
Bentuk soal ini menuntut peserta tes untuk memilih dua kemungkinan jawaban. Bentuk kemungkinan jawaban yang sering digunakan adalah benar dan salah atau ya dan tidak.
Terdapat  beberapa keunggulan bentuk soal jenis ini:
(a). dapat mengukur berbagai jenjang kemampuan kongnitif,
 (b). Dapat mencangkup lingkup materi yang luas,
(c). Dapat diskor dengan mudah, cepat dan obyektif.
Sementara itu, bentuk soal ini juga memiliki keterbatasan , diantaranya:
(a). probabilitas menebakdengan benar adalah besar, yaitu 50% karena pilihan jawabanya hanya dua, yaitu benar dan salah,
(b). Bentuk soal ini tidak dapat digunakan untuk menanyakan sesuatu konsep secara utuh karena peserta tes hanya dituntut menjawab benar dan salah,
(c). Apabila jumlah butir soalnya sedikit, indeks daya pembeda butir soal cenderung rendah, dan
(d). Apabila ragu atau kurang memahami pernyataan soal, peserta tes cenderung memilih jawaban benar.
Contoh soal:
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bagi bangsa indonesia bermakna:
B - S
B - S
B - S
B - S
B - S
Lahirnya bangsa indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Norma pertama dalam ketatanegaraan Republik Indonesia
Putusnya hubungan diplomatik dengan Belanda
Titik awal terbinanya semangat persatuan dan kesatuan

3.      Bentuk Soal menjodohkan
Soal menjodohkan terdiri dari dua kelompok pernyataan. Kelompok pertama ditulis pada lajur sebelah kiri, biasanya merupakan soal atau pernyataan stimulus. Kelompok kedua ditulis pada lajur sebelah kanan, biasanya merupakan penyataan jawaban atau penyataan respon. Peserta tes diminta u;ntuk menjodohkan atau memilih pasangan yang tepat bagi pernyataan yang ditulis pada lajur sebelah kiri diantara pernyataan yang ditulis pada lajur sebelah kanan.[4]
Beberapa keunggulan bentuk soal jenis ini diantaranya:
a.       Relatif lebih mudah dalam perumusan butir soal, terutama jika dibandingkan dengan soal bentuk pilihan ganda.
b.      Ringkas dan ekonomis dilihat dari segi rumusan butir soal dan dari segi memberikan jawaban.
c.       Dapat dilakukan penskoran dengan mudah, cepat, dan objektif.
Soal bentuk ini juga memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
a.       Cenderung mengukur kemampuan mengingat sehingga kurang tepat digunakan untuk mengukur kognitif yang lebih tinggi.
b.      Kemungkinan menebak dengan benar relatif tinggi karena jumlah pernyataan soal dan pernyataan jawaban lebih banyak berbeda.[5]

Contoh soal;
1)      Presiden indonesia
2)      Wali kota pekalongan
3)      Bupati pekalongan
4)      Menteri ketenagakerjaan
5)      Wakil presiden
a.               Dr. Basyir
b.              Wiranto
c.               Joko widodo
d.              Hanif dzakiri
e.               Yusuf kalla
f.               AHMAD FATHAN RIDHO

B.     Bentuk Soal Non-Objektif
1)      Soal Tes Bentuk Uraian
Soal bentuk uraian merupakan suatu soal yang jawabanya menuntut siswa mengingat dan mengorganisasikan gagasan-gagasan atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekpresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis. Berdasarkan penyekoranya, soal bentuk uraian diklasifikasikan menjadi uraian objektif dan uraian nonobjektif. Soal bentuk uraian objektif menuntut sekumpulan jawaban dengan pengertian atau konsep tertentu sehingga penyekoranya dapat dilakukan secara objektif. Sementara itu, soal bentuk uraian nonobjektif menuntut jawaban berupa pengertian atau konsep berdasarkan pendapat masing-masing siswa sehingga penyekoranya lebih sulit untuk dilakukan secara objektif.
                        pada prinsipnya, perbedaan antara soal bentuk uraian objektif dan nonobjektif terletak pada kapasitas penyekoranya. Pada soal bentuk objektif, kunci jawaban dan pedoman penyekoran lebih pasti, dengan komponen-komponen yang akan diskor diuraikan secara jelas dan ditentukan besarnya skor untuk setiap komponen.[6]
Contoh soal:
Buatlah karangan dengan topik “Meningkatkan minat baca siswa”, sebanyak kurang lebih 150 kata. Perhatikan ejaan, tanda baca, struktur kalimat, dan hubungan / keterkaitan antar kalimat.



BAB III
KESIMPULAN



A.Soal Obyektif
Tes obyektif adalah tes yang dalam pemeriksaannnya dapat dilakukan secara obyektif hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk essay
Bentuk-bentuk soal obyektif :
1.      Soal Bentuk Pilihan Ganda
2.      Bentuk dengan Dua pilihan jawaban (B - S)
3.      Bentuk Soal menjodohkan

B.Bentuk Soal Non-Objektif
1.      Soal Tes Bentuk Uraian



DAFTAR PUSTAKA

Kusaeri suprananto,pengukuran dan penilaian pendidikan,(graha ilmu:jogjakarta),hlm123

 Suharsini aribunto,dasar-dasra evaluasi pendidikan,hlm.165

Sukardi,evaluasi pendidikan prisip dan operasionalnya,(cahaya prima santosa,jakarta timur)hlm.118





[1] Suharsini aribunto,dasar-dasra evaluasi pendidikan,hlm.165
[2] Ibid,hlm.166
[3] Sukardi,evaluasi pendidikan prisip dan operasionalnya,(cahaya prima santosa,jakarta timur)hlm.118
[4] Kusaeri suprananto,pengukuran dan penilaian pendidikan,(graha ilmu:jogjakarta),hlm123
[5] Ibid,hlm 128.
[6] Ibid,hlm.137.
23.41

Fashakhakh dan Balaghah

Ilmu Balaghah
Fashakhakh dan Balaghah

A.Fashahah
A. 1. Arti fashahah
a. Menurut bahasa
fashahah berarti menampakkan perkara secara jelas dan terang. Suatu contoh, seorang anak kecil akan dikatakan fashih saat ia sudah dapat berbicara dengan jelas dan terang.
b. Menurut ishthilah ilmu balaghah
Fashahah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalimat, kalam dan mutakalim.
A. 2. Macam – macam fashahah
1. Fashahatul kalimat ( kalimat yang fashiih )
Suatu kalimat ( Kosakata ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : 1 ) Tanafurul huruf. 2 ) Mukhalafatul qiyas. 3 ) Ghorobah.
1.1.   Tanafurul huruf adalah sifat yang terdapat di dalam suatu kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
الظَّشُّ
: sebutan bagi tempat yang kasar.
اَلْهُعْخُع
: sebutan bagi tanaman yang dimakan onta.
النُّقَاخ
: sebutan bagi air tawar yang bersih.
المُسْتَشْزِر
: sebutan bagi rambut yang digulung.
Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz – lafadz di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat ) yang kurang ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena itu, empat kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain dalam bahasa jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas lisan orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih, dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di dalam kalimat tersebut.  
1.2.   Mukhalafatul qiyas adalah kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian dapat diketahui dengan merujuk pada kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
فَاِنْ يَكُ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ  فَفِى النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلٌ
“ Bila sebagian orang – orang itu menjadi pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi terompet – terompet dan genderang – genderangnya. “
Dalam syair Al Mutanabi di atas terdapat lafadz                        بوقات ( jamak muannats salim dari lafadz  بوق ). Lafadz بوقات tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak sesuai dengan kaidah ilmu sharaf. Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بوق tidak memenuhi syarat untuk dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat tersebut hanya dapat dijamakkan dengan jamak taksir ; ابواق .
Di dalam syair yang lain al Mutanabi berkata :
إنّ بنىَّ للئام زهده  مالى فى صدورهم من موددة
Kalimat موددة pada syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I’lal & Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ;  مودّة .
1.3.   Ghorobah berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan memperbanyak menela’ah bahasa arab.
Contoh :
تَكَأْكَأَ
Bermakna اِجْتَمَعَ ( berkumpul )
اِفْرَنْقَعَ
Bermakna  اِنْصَرَفَ( berangkat )
اِطْلَخَمَّ
Bermakna اِشْتَدَّ ( dahsyat )
Ketiga kalimat di atas (تَكَأْكَأَ , اِفْرَنْقَعَ & اِطْلَخَمّ ) termasuk dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat tersebut sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo “ bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan ( Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya.
2.      Fashahatul Kalam ( Kalam yang fashiih )
Suatu kalam ( Kalimat ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalam yang fashiih apabila kalam tersebut selamat dari :  1 ) Tanafurul kalimat.  2 ) Dla’fut Taklif. 3 ) Ta’qid.
2.1.   Tanafurul kalimat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ يَشْرَع  وليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْر
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَىمَعِى وَاِذَا مَالُمْتُه لُمْتُه وَحْدِى

Susunan kata yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak fashiih karena susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional sehingga menyebabkan lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi lisan  orang Jawa kalimat tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan kurang proporsional.    
2.2.   Dla’fut taklif berarti kalam ( susunan kalimat ) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dlamir ( kata ganti ) sebelum menyebutkan marji’nya ( tempat kembalinya dhamir ).
Contoh :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلان عَن كِبَرٍ  وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجْزى سنِمّار
Letak dlamir هُ  pada lafadz  بَنُوْه mendahului marji’nya ; أَبَا الْغِيْلان , hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir harus setelah penyebutan marji’nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah menemukan marji’ dlamir tersebut. 

2.3.   Ta’qid berarti kalam tersebut masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki. Hal demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud perkataan mutakalim. Ta’qid ada dua macam :
a ) Ta’qid Lafdzi adalah ta’qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam susunan lafadz. Seperti taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak di ahir ), takhir ( mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ), washal ( menyambung suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz dengan lafadz setelahnya ) dan sebagainya.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
جَفَخَتْ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ دَلَائِلُ
“Kemegahan tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat mulia yang menunjukkan. “.
Susunan yang seharusnya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلَائِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا
“ Kemegahan telah ada pada mereka yang menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu “.

Contoh lain dalam bahasa Indonesia :
“ dan pergi ayah saya ibu pasar, ke bersama”.
Kalimat di atas sangatlah ruwet dan sulit dipahami maksudnya. Karena susunan kata pada kalimat tersebut yang acak – acakkan, mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan kata yang seharusnya didahulukan dan peletakan tanda baca koma ( untuk menyambung dan memisah ) yang tidak tepat. Sedangkan susunan yang benar adalah :
“ Saya, ayah dan ibu pergi ke pasar bersama “.    
Dla’fut taklif dan ta’qid lafdzi ini dapat diketahui dengan ilmu nahwu.
b ) Ta’qid Maknawi adalah ta’qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh penggunaan majaz ( kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak mudah dipahami maksudnya.
Contoh :
نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِى الْمَدِيْنَة ِ
“ Raja telah menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “
Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja telah menyebar mata – matanya di kota “, sehingga lafadz   أَلْسِنَتَهُ   tidak tepat jika digunakan sebagai kiasan dari katamata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk digunakan sebagai kiasan dari katamata – mata adalah lafadz عُيُوْنَه . Jadi, susunan yang benar adalah :
نَشَرَ الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ فِى الْمَدِيْنَة
“ Raja telah menyebarkan mata – matanya di kota. “
Contoh dalam bahasa jawa, saat melihat wanita,   sering sekali para pemuda mengeluarkan kata – kata yang menyindir ( nggojloki , red ) salah satu bagian kewanitaannya ( payudaranya ) “ gedange’ “ ( pisang, bhs. Indo ). Secara logika, kata “ gedange’ “ tersebut sangatlah tidak tepat jika digunakan sebagai konotasi atau kiasan dari payudara. Sedangkan kata yang tepat adalah “ kate’se’ “ ( pepaya, bhs. Indo ), karena bentuknya yang mendekati mirip dengan payudara wanita. Contoh lain : “ sido opo udu “ ( jadi apa bukan ) kalimat tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih, karena penggunaan kata udu yang bermakna bukansangatlah tidak tepat apabila digunakan sebagai konotasi dari kata yang bermaknatidak ( nafi ). Yang betul adalah : “ sido opo ora “ ( jadi apa tidak ), karena kata oramengandung makna nafi ( peniadaan ).
Seorang penyair berkata :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِعَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجمدا
“ ”
Ta’qid maknawi ini dapat diketahui melalui ilmu bayan.
3.      Fashahatul Mutakallim ( Mutakallim fashiih )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang fashih pada setiap tujuan.
Fashahah dapat pula diartikan sebagai implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi :
1) Kemudahan pelafalan.
2) Kejelasan makna (tidak gharib).
3) Ketepatan sharaf.
4) Ketepatan nahwu
B. Balaghah
B. 1. Arti Balaghah
a. Menurut bahasa
Balaghah berarti sampai dan berahir.
بَلَغَ فُلَانٌ مُرَادَهُ     “ Fulan telah sampai pada tujuannya “. Dikatakan demikian apabila ia ( fulan ) telah sampai pada tujuannya.
b. Menurut istilah ilmu balaghah
Balaghah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalam dan mutakallim.
B.2. Macam – macam balaghah
1. Balaghatul kalam ( Kalam yang baliigh )
adalah sesuainya kalam yang fashiih dengan muqtadlal khal ( situasi dan kondisi ). Khal dan muqtadlanya ini dapat diketahui dengan ilmu ma’ani.
            - Khal adalah suatu faktor yang mendorong mutakallim untuk menyampaikan perkataannya dalam bentuk ( kemasan ) tertentu.
            - Muqtadla adalah suatu bentuk husus yang digunakan untuk menyampaikan perkataan.
Contoh :
- Keinginan memuji adalah khal ( faktor pendorong ) yang mendorong mutakallim untuk mengemas perkataannya dalam bentuk penyampaian yang panjang lebar ( ithnab ).
- Kecerdasan mukhathab juga merupakan khal yang mendorong mutakallim untuk menyampaikan perkataannya dalam bentuk ringkas ( iijaz ).
Maksud memuji dan kecerdasan mukhathab adalah khal, sedangkan bentuk penyampaian panjang lebar dan ringkas merupakan muqtadha. Dan penerapan penyampaian kalam dalam bentuk panjang lebar dan ringkas disebut muthabaqah limuqtadla.           
2. Balaghatul mutakallim ( Mutakallim yang baliigh )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang baliigh disetiap tujuan.
Setiap kalam ( kalimat ) yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalam yang fashiih itu selalu baliigh.
Definisi lain Ilmu Balaghah adalah ilmu untuk menerapkan (mengimplementasikan) makna dalam lafazh-lafazh yang sesuai (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaaal-haal).

Tujuan ilmu balaghah : mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.

Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
a.           Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.
b.           Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara membuat metafora yang bisa diindera.
c.           Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.
Seorang yang ingin mempelajari dan menekuni ilmu balaghah terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan tentang ilmu bahasa ( hususnya bahasa arab ), dan  mempunyai bekal pengetahuan ilmu sharaf, nahwu, ma’ani dan ilmu bayan. Disamping itu, ia juga harusmempunyai naluri perasaan yang normal dan  memperbanyak menela’ah percakapan dalam bahasa arab.


About